Etika jual beli

        
 Assalamu'alaikum .. sebelumnya, mohon maaf jika disandingkan, gambar dengan isi blog ini sedikit ga nyambung, ingin berbagi  secuil gambar kenangan, gambar ini diambil ketika aku menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Gorontalo, namun jangan salah, di gambar tersebut merupakan salah satu desa unik, karena desa tersebut berada di atas laut, sehingga disebut desa apung Torosiaje, di dalam desa tersebut juga ada kegiatan jual beli lohh, jadi agak nyambung dengan konten blog kali ini... 

Seperti yang kita tahu bahwa manusia sebagai makhluk sosial memerlukan dan melakukan interaksi serta berjejaring dengan seksama bahkan tidak sedikit yang membentuk komunitas tertentu untuk mengintenskan interaksi mereka, maka dari itu jual beli disini juga merupakan salah satu bukti adanya interaksi antar manusia, islam merupakan agama yang the whole kehidupan manusia sudah diatur didalamnya dengan sempurna, sehingga dalam islam pun juga terdapat etika bagaimana jual beli dapat berjalan dengan lancar dan jelas, alangkah baiknya ketika kita dapat lebih memahami bagaimana etika jual beli dalam islam, berikut ini penjelasan mengenai beberapa istilah dan bagaimana cara kita memaknai pesan memesan barang yang nantinya akan berpindah hak kepemilikannya dari penjual ke pembeli, dan dijaman milenial ini banyak sekali toko online sehingga pembeli bisa memesan terlebih dahulu, bagaimana hal ini diatur  :

Hamis jiddiyah merupakan istilah penyerahan uang pertama untuk menunjukan kesungguhan dan kepastian dalam membeli barang, fungsi dari Hamis jiddiyah  yakni antara lain :
1.  memastikan kalau pembeli tersebut memiliki kemampuan finansial. 
2.  menenangkan pihak keuangan untuk bentuk ganti rugi ketika pihak pembeli mundur dan tidak lagi   membeli. so, ketika kita membeli barang online dan di mintai uang ini bukan sesuatu hal yang salah. seperti banyak kejadian pada aplikasi go-food (misalnya) ada orang yang memakai aplikasi ini untuk membeli makan (tidak dengan go pay), si babang gojeknya telah percaya kita mengganti uang nya untuk membeli makan kita, eh taunya kita gk jadi beli makan yang udah dibelikan babang gojek (nah perbuatan ini tidak termasuk dalam syariat jual beli ya kawan, minimal kita harus bertanggungjawab dengan makanan yang kita pesan dan membelinya dari babang gojek).. sebenarnya kasus tersebut juga belum ada ikatan antara penjual (babang gojek) dan pembeli, seharusnya memang pembeli membayar terlebih dahulu. 
  lanjut yak, kemudian bagaimana jika pembeli tidak jadi untuk membeli barang tersebut ? maka uang yang tadinya sebagai pengikat ikatan antara penjual dan pembeli akan dikembalikan oleh pembeli, namun uang yang dikembalikan di metode Hamis jiddiyah tidak keseluruhan, karena barang yang tadinya sudah dipesan akan kemungkinan laku atau tidaknya masih belum pasti sehingga uang yang sebagian digantikan untuk ketidak jelasan barang yang dibeli tersebut, dan barang tersebut dijual di pihak ketiga dengan harganya dimurahkan supaya barangnya laku, sehingga ada yang mau membeli. hal ini dilakukan agar pembeli dapat bersungguh-sunguh jika memang akan membeli barang. Namun kata Aak oifi, Hamish Jiddiyah itu bisa saja bukan uang muka, tapi statusnya adalah suatu hubungan, maksudnya yakni penjual sudah mengenal dan mempercayai pembeli pasti akan membeli barang dengan adanya hubungan sehingga, tidak perlu adanya uang muka, sedangkan uang muka itu ketika ada barang yang emang udah ada stoknya (realnya) jadi bukan DP (karena terkadang uang DP bisa saja barang belum ada stoknya, nah di islam, yang namanya uang muka/DP itu ketika barang sudah ada stok/realnya), Jadi statusnya bukan uang muka tapi uang titipan (yang menjadi hak buat pembeli) supaya tidak berlaku kegiatan2 mudhorobah. Ganti rugi ini tidak boleh mencakup dalam mencari kesempatan untung, hanya saja adanya kerugian yang real. Jika pembeli melakukan janjinya maka tidak jadi ada pemotongan uang muka. Uang muka tidak boleh ada ketika fase nya masih fase janji. Kapan boleh ada uang muka/DP nya? Ketika masuk fase ke dua yakni ketika udah ada barangnya, udah ditunjukan dan sesuai maka jadilah itu uang muka.  Dp/panjel/uang muka di pandangan ulama itu adalah mengharomkan nya. (imam abu hanifah, imam syafii, imam malii) yang membolehkan hanya imam ahmad yakni madzhab hanabilah. Ketika sudah menandatangani kesepakatan maka harus sudah pakek DP/uang muka.
Ketika pembeli punya hutang ke penjual (bisa karena membelinya dalam bentuk kredit dsb), dan pembeli menjual kembali barang (itu adalah urusan pembeli),  penjual tidak ikut campur, yang penting dia harus melunasi kerdit-nya ke penjual. (kitab makyir syafiah dan mui). Menjual barang kreditan itu boleh menurut syariat (ketika emang udah deal dengan kontak saling sepakat berarti ya udah). 

(tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan, semua yang benar itu datangnya dari Allah SWT, semoga ini tercatat sebagai amal saleh disisi Allah SWT, jangan sampai ada perpecahan diantara kaum muslimin)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indahnya hubungan antara Sains dan Islam

Nicotiana tabacum L.

Saccharum officinarum L.